PENYELESAIAN SECARA PERDATA
Beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, Inggris, Jepang, atau Korea, Malaysia, dan Singapura yang telah menerapkan Cyber Law cenderung menyelesaikan masalah Cyber Law secara perdata. Dan belum ada kasus-kasus penghinaan atau pencemaran nama baik di negara-negara tersebut yang terjadi karena pemanfaatan media elektronika diselesaikan secara pidana apalagi sampai dipenjara.
Sejak Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang disahkan pada tanggal 21 April 2008 telah dimasalahkan oleh Asosiasi Internet Indonesia (AII). AII mencatat 6 kelemahan terdapat dalam UU ITE yaitu: proses penyusunan, salah kaprah dalam definisi, tidak konsisten, sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, menghambat penegakan hukum, dan mengabaikan yurisdiksi hukum.
Lebih dari itu, UU ITE yang berjumlah 54 pasal sarat dengan Perbuatan Yang Dilarang yang diatur dari pasal 27 sampai dengan pasal 37 atau berjumlah 11 pasal yang berarti 20% dari seluruh pasal. Ketentuan Pidana berjumlah 8 pasal atau 14,8% diatur dari pasal 45 sampai dengan pasal 52. Dengan komposisi seperti itu agak bertolak belakang dengan harapan Menkominfo saat pengesahan UU itu agar UU itu dapat memberikan kepastian hukum, dan mendorong pertumbuhan ekonomi dan mencegah dampak negatif cyber crime.
Jika menelaah sanksi pidana terendah namun dengan hukuman maksimal 6 tahun dan/atau denda paling banyak 1 milyar rupiah dikenakan terhadap siapa saja yang terbukti melakukan penghinaan atau pencemaran nama baik tanpa berkaitan dengan transaksi ekonomi tentu harus dipertanyakan apa tujuan yang sebenarnya mencantumkan sanksi maksimal 6 tahun? Apakah masalah penghinaan di tanah air sudah demikian marak, dan mengganggu ketertiban umum yang luar biasa sehingga perlu dikenakan sanksi pidana selama itu?
Bandingkan dengan pasal 310 KUH Pidana -yang serupa dengan pasal 27 ayat (3) UU ITE- yang mengatur sanksi pidana terhadap penghinaan atau pencemaran nama baik yang memberikan sanksi pidana maksimal 9 bulan atau denda sebanyak-banyaknya empat ribu lima ratus rupiah.
Memperhatikan konsideran, penjelasan serta Asas dan Tujuan disahkannya UU ITE sungguh tidak logis penggunaan pasal 27 ayat (3) UU ITE dan sanksi pidana maksimal 6 tahun didakwakan terhadap siapa saja yang melakukan penghinaan apabila tindakan ”penghinaan” itu tidak berkaitan hubungan bisnis yang setara atau sejenis antara tersangka dengan saksi korban atau pelapor, apalagi yang dilakukan tersangka dapat diduga kuat berupa keluhan terhadap pelayanan yang dilakukan pelapor atau saksi korban. Selayaknya tujuan lain dari UU ITE atau Cyber Law itu mampu mempercepat aktifitas bisnis dan memberi perlindungan terhadap para pelaku usaha, dan mencegah penyalahgunaan media elektronik, dan bukan mempidanakan masyarakat yang menyampaikan keluhan.
PERSEKONGKOLAN DALAM PENYIDIKAN ATAU PENUNTUTAN
Kerap kali terjadi persekongkolan antara saksi (pelapor) dengan penyidik, dan atau penuntut umum agar terlapor, atau tersangka dicarikan sanksi pidana yang memungkinkan terlapor atau tersangka dapat ditahan. Salah satu cara yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum adalah mencarikan pasal dengan sanksi pidana di atas 5 (lima) tahun meski sangkaan pelanggaran itu sebenarnya tidak mencapai 5 (lima) tahun. Misalnya, pelanggaran UU Desain Industri dikenakan sanksi pidananya maksimal 4 (empat) tahun, lalu oleh Penyidik atau Penuntut Umum dikenakan pula ketentuan UU Hak Cipta yang mengenakan sanksi pidana maksimal 7 (tujuh) tahun. Atau modus baru yang dilakukan penyidik atau penuntut umum adalah pelanggaran pasal 310 atau pasal 311 KUH Pidana tentang penghinaan atau pencemaran nama baik, yang mencantumkan pula pasal 27 ayat (3) UU ITE. Dengan penerapan pasal dengan sanksi pidana lebih dari 5 (lima) tahun menjadi alasan bagi penyidik atau penunut umum melakukan penahanan terhadap tersangka.
Untuk memperkuat sangkaan penyidik atau penuntut umum, dimintakan pula keterangan ahli hukum pidana atau hukum lainnya yang bisa mendukung terpenuhinya unsur-unsur pidana tersebut. Tentunya, keterangan ahli disiapkan oleh pelapor atau atas rujukan penyidik, atau penuntut umum, dan segalanya sesuatunya diduga tidak diberikan secara gratis.
Upaya penahanan dilakukan agar terlapor, atau tersangka jera tidak melakukan perbuatan pidana lagi, atau agar terjadi tindakan ”perdamaian” paksa antara pelapor, atau saksi (korban) yang diselesaikan pada tingkat penyidikan, atau penuntutan.
Kejaksaan Agung telah mengakui bahwa penuntut umum dalam kasus dugaan penghinaan yagn dilakukan Prita pada Pengadilan Negeri Tangerang tidak profesional, dan selayaknya tidak cukup hanya pernyataan itu saja, tapi menindaklanjuti kemungkinan pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan pasal titipan karena faktor-faktor eksternal pemilik modal.
Menkominfo dan para perancang UU itu mungkin tidak menduga bahwa UU ITE dapat dimanfaatkan pemilik modal untuk menjerat anggota masyarakat dengan dalih penghinaan atau pencemaran nama baik meski tindakan itu tidak berkaitan dengan informasi yang berkaitan dengan transaksi melalui sarana elektronik.
Bahwa tidak dipungkiri UU ITE diperlukan masyarakat, dan pemerintah untuk mencegah dan sarana represif penyalahgunaan informasi dan transaksi elektronik. Namun, setiap UU termasuk UU ITE pun harus memiliki jiwa yang dapat mencegah kemungkinan disalahgunakan oleh para penegak hukum ”bayaran” untuk menghakimi anggota masyarakat karena sanksi pidana dalam UU ITE dianggap tidak logis, bahkan cenderung zalim.
Sarana elektronik sesungguhnya dapat digunakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk mengembangkan dan membangun masyarakat yang berbudaya menulis. Salah satu kelemahan masyarakat Indonesia adalah malas mengomunikasikan secara tertulis dan hanya berkomunikasi secara lisan. Padahal untuk menjadi bangsa yang memiliki budaya yang kuat harus mampu menorehkannya dalam bentuk tulisan. Jangan sampai curahan hati-pikiran, gagasan-gagasan, guyonon, atau pengembangan kreatifitas seni dan sastra, serta teknologi yang memanfaatkan sarana elektronik dikenakan sanksi pidana UU ITE.
UU ITE hanyalah susunan kalimat yang bisa menjadi bencana atau ber makna bagi masyarakat akan sangat tergantung pada mental dan moral para penegak hukumnya. UU itu akan menjadi tanpa jiwa jika penegak hukum tidak menggunakan logika, dan hati nuraninya tapi hanya sekedar memenuhi unsur-unsur pidana dalam pasal-pasal pada UU itu tanpa mau memahami asas, tujuan, dan makna disahkannya UU itu.
Namun, UU yang karut-marut akan menjadi teduh bagi masyarakat jika dijalankan oleh para penegak hukum yang masih memiliki iman dan keadilan.