Dalam proses perikatan Perjanjian Kredit, jaminan merupakan hal yang umum diberikan oleh debitur untuk memastikan pembayaran kredit dilaksanakan secara teratur dan menunjukkan kesanggupannya untuk melunasi kewajiban pembayaran kredit. Jaminan yang diberikan dapat berbentuk aset berwujud (tangible asset) dan aset tidak berwujud (intangible asset). Aset berwujud (tangible asset) adalah aset yang memiliki wujud fisik berbentuk tanah, bangunan, barang dagangan, mesin, surat berharga, sedangkan aset tidak berwujud (intangible asset) yaitu aset yang tidak memiliki wujud fisik tetapi memiliki nilai ekonomi, seperti hak kekayaan intelektual (hak cipta, paten, merek, dan/atau rahasia dagang), saham, piutang dagang, dan lain sebagainya.
Kreditur akan memberikan fasilitas kredit kepada debiturnya apabila nilai jaminan yang diberikan dapat menjangkau nilai kredit tersebut. Namun demikian, dalam hal objek yang dijaminkan oleh debitur berbentuk aset tidak berwujud, maka perlu diadakan kesepakatan terlebih dahulu untuk menentukan objek atas suatu aset tidak berwujud tersebut dan nilai/valuasi yang disepakati atau telah ditentukan harganya. Dalam hal ini, aset tidak berwujud yang dimaksud adalah Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dimana manfaat HKI dapat dirasakan secara langsung seperti reputasi atas merek yang membuat konsumen tertarik membeli produk atau menggunakan jasanya, teknologi yang digunakan atas invensi yang dibuatnya yang berupa paten, dan cara pembuatan suatu produk (rahasia dagang).
Sebagai upaya manajemen risiko yang dilakukan oleh Kreditur atau Bank, uji tuntas HKI (IP due diligence) sepatutnya dilakukan untuk menerima HKI sebagai jaminan, Kreditur atau Bank perlu melakukan suatu proses dan penilaian oleh penilai publik dalam menentukan valuasi/penilaian HKI sebagai jaminan. Untuk menjadikan HKI sebagai objek jaminan fidusia di Indonesia, suatu rangkaian dan tinjauan hukum patut dilakukan secara mendalam sebagai upaya penerapan manajemen risiko. Hal ini juga untuk memastikan HKI yang dijaminkan memiliki valuasi/penilaian yang dapat meyakinkan bank untuk memberikan fasilitas kredit.
Uji tuntas HKI adalah melakukan penelaahan, peninjauan, dan penilaian HKI yang dimiliki oleh suatu perusahaan dengan mempertimbangkan lini bisnis yang dilakukan dan laporan keuangan terkait penggunaan suatu aset HKI yang dimanfaatkan. Dengan melakukan Uji tuntas HKI, maka akan tergambarkan daftar aset HKI dan perkiraan nilai/valuasi aset HKI yang dimiliki perusahaan. Hal-hal yang akan menjadi perhatian dalam melakukan uji tuntas HKI antara lain informasi terkait HKI yang dimiliki perusahaan seperti legalitas dan jangka waktu, perkara hukum terkait HKI, informasi pasar dan kompetitor, informasi terkait lainnya seperti lisensi, kerjasama pemasaran dengan menggunakan HKI (yaitu merek, paten, rahasia dagang, desain industri, dan/atau hak cipta), dan lain sebagainya dengan pihak ketiga.
Selanjutnya, terkait HKI sebagai jaminan, sampai dengan saat ini hanya UU Hak Cipta dan UU Paten yang mengatur secara eksplisit bisa dijadikan sebagai objek jaminan fidusia, yakni pada Pasal 16 ayat (3) UU Hak Cipta dan Pasal 108 UU Paten yang menyatakan sebagai berikut:
Pasal 16 ayat (3) UU Hak Cipta
Hak Cipta dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia.
Pasal 108 UU Paten
(1) Hak atas paten dapat dijadikan sebagai objek jaminan fidusia
(2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara hak atas paten sebagai objek jaminan fidusia diatur dengan Peraturan Pemerintah
Meskipun demikian, pada praktiknya hak-hak yang mudah dijadikan tolak ukur sebagai jaminan adalah Hak Cipta, Merek, Paten, dan Rahasia Dagang. Walaupun tidak mengatur secara rinci penjaminan atas suatu HKI, tetapi mempertimbangkan HKI sebagai benda bergerak tidak berwujud, maka HKI merupakan objek jaminan fidusia berdasarkan UU Fidusia. Hal ini sebagaimana diuraikan pada Pasal 1 ayat (2) UU Fidusia yang telah mengatur bahwa jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU HT yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Apabila HKI menjadi objek jaminan fidusia, maka hal tersebut menguntungkan penerima fidusia/kreditur karena HKI milik debitur yang telah dijadikan objek jaminan fidusia secara otomatis dilarang untuk dialihkan kepada pihak ketiga, kecuali mendapat persetujuan dari penerima fidusia/kreditur (Pasal 23 ayat (2) UU Fidusia). Upaya eksekusi juga lebih mudah karena penerima fidusia memiliki hak eksekutorial, sehingga dapat mengeksekusi HKI pemberi fidusia dengan cara pelelangan umum atau penjualan di bawah tangan, mengalihkan, dan/atau menerima pembayaran dari penjualan HKI tersebut (Pasal 29 ayat (1) UU Fidusia). Eksekusi jaminan fidusia memberikan kepastian kepada kreditur karena nama penerima dan alamat fidusia tertulis dengan jelas pada sertifikat jaminan fidusia (Pasal 13 ayat (2) UU Fidusia jo. Pasal 3 PP 21/2015 jis. Pasal 10 Permenkumham 25/2021) dan pada sertifikat fidusia juga dibubuhkan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” serta nilai/valuasi atas nilai jaminannya (Pasal 15 ayat (1) UU Fidusia). Irah-irah tersebut memberikan makna bahwa perjanjian fidusia antara kreditur dan debitur dibuat seadil-adilnya dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga dapat dilakukan eksekusi.
Membutuhkan pendapat dan bantuan hukum terkait hal di atas? Silakan hubungi kami di
info@maulanalawfirm.com