Karya yang dilindungi Undang-undang Hak Cipta
Undang-undang Hak Cipta No. 6 Tahun 1982 (UUHC) merupakan UUHC yang pertama kali disahkan setelah Indonesia merdeka. UUHC itu lalu direvisi menjadi UUHC No. 7 Tahun 1987, dan direvisi lagi dengan UUHC No. 12 Tahun 1997. Terakhir diubah menjadi UUHC No. 19 Tahun 2002. UUHC memberikan perlindungan terhadap ciptaan atau karya-karya dibidang seni, sastra dan ilmu pengetahuan. Karya-karya itu akan mencakup karya tulis, karya lisan, karya pertunjukan, karya siaran, karya film, karya seni dalam berbagai bentuk, dan karya-karya lainnya.
Konsideran dan pengesahan UUHC itu bertujuan agar berkembang kemampuan intelektual yang mampu menghasilkan karya-karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan sehingga dapat memberikan kesejahteraan dan kemakmuran tidak hanya bagi para penciptanya, tetapi juga masyarakat dan bangsanya. Bukan hanya itu, UUHC juga memberikan perlindungan hukum kepada pencipta dan atau para pemegang hak ciptanya. Secara implisit, UUHC memberikan kebebasan berekspresi bagi pencipta untuk menghasilkan karya-karya dibidang seni, sastra, dan ilmu pengetahuan walau tidak bersifat absolut.
Kebebasan berekspresi yang diharapkan mampu menghasilkan karya-karya seni, sastra, dan ilmu pengetahuan sehingga dapat mengharumkan bangsa dan negara kerap kali terjegal oleh sikap paranoid pemerintah, terutama Kejaksaan Agung. Tidak sedikit karya-karya dari hasil kemampuan berpikir bangsa sendiri yang berupa buku-buku novel dan/atau buku sejarah telah dilarang terbit di tanah air oleh Kejaksaan Agung dengan menggunakan Penetapan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan Yang Isinya dapat Mengganggu Ketertiban Umum (Penpres No. 4/1963).
Larangan Kejaksaan Agung terhadap karya-karya tulis terjadi karena karya itu dianggap dapat mengganggu ketertiban umum, kesusilaan, norma-norma agama, kepentingan nasional, atau biasa disebut ”sara” (suku, agama, dan ras) walau instansi itu –mungkin- belum memahami makna dan melakukan kajian yang mendalam terhadap karya-karya yang dilarang tersebut. Kerapkali larangan peredaran suatu buku merupakan promosi gratis sehingga buku itu menjadi terkenal dan laku, sehingga bersifat bertolak belakang dari keinginan pemerintah.
Tindakan pelarangan buku sejarah dan novel di masa lalu yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung dengan menggunakan Penpres No. 4/1963 sesungguhnya bertentangan dengan UUHC. UU ini secara tegas menyatakan bahwa hak cipta adalah hak ekslusif bagi pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya atau memberikan izin untuk itu; Dan ciptaan itu timbul secara otomatis dari hasil kemampuan intelektual pencipta yang bersifat khas, atau unik, dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undngan yang berlaku (ps. 1 angka 1 jo ps 2 ayat [1] UUHC). UUHC juga mengatur bahwa hak cipta dapat dialihkan karena pewarisan, hibah, wasiat, atau perjanjian tertulis, atau sebab lainnya yang dibenarkan oleh undang-undang. Dengan demikian jelas, hak cipta merupakan hak kebendaan tidak berwujud yang tidak bisa ”diberedel” serampangan melalui Penpres No. 4/1963.
Berbeda dengan sistem hak cipta di negara lain, sistem hak cipta Indonesia selain mengatur pembatasan dan larangan terhadap suatu ciptaan, juga mengamanatkan pembentukan Dewan Hak Cipta untuk membantu pemerintah dalam memberikan penyuluhan dan pembimbingan serta pembinaan hak cipta (ps. 48 UUHC). Dan dalam pasal 17 secara tegas menyatakan bahwa pemerintah melarang setiap ciptaan yang bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah di bidang agama, pertahanan dan keamanan negara, kesusilaan, serta ketertiban umum setelah mendengar pertimbangan Dewan Hak Cipta.
Dewan ini yang terdiri dari wakil pemerintah, organisasi, profesi, dan anggota masyarakat yang memiliki kompetensi dibidang hak cipta seharusnya mampu memberikan ”pencerahan” agar Kejaksaan Agung memiliki alasan rasional dan hukum yang kuat sebelum menyatakan karya-karya seni, sastra, atau ilmu pengetahuan dilarang diumumkan, diperbanyak atau diedarkan. Dan tidak sekedar menggunakan Penpres No. 4 Tahun 1963 untuk melarangnya. Disayangkan, hingga kini Dewan Hak Cipta belum lagi terbentuk walau UUHC telah disahkan lebih dari 5 tahun lalu.
”Tadzkirah” sebagai kreasi Mirza Ghulam Ahmad
Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) menganggap bahwa kitab sucinya adalah al Quran, Hadits, dan Tadzkirah; Yang terakhir merupakan hasil pemikiran Mirza Ghulam Ahmad (MGA) dan ia dianggap nabi juga oleh JAI. Dan dalam kitab itu dikatakan bahwa barangsiapa yang tidak mempercayainya sebagai nabi akan dianggap sesat (Republika online, 7 Januari 2008).
Apabila dianalogikan dan diterapkan sebagai suatu karya tulis dengan pendekatan hak cipta maka karya MGA seharusnya juga dilarang diedarkan dan atau dipublikasikan di tanah air karena karya tulis itu merupakan penistaan terhadap umat Islam yang dianut oleh mayoritas rakyat Indonesia dan menimbulkan akibat sebagaimana diatur dalam pasal 17 UUHC. Untuk mengisi kekosongan Dewan Hak Cipta, maka tidak keliru apabila Majelis Ulama Indonesia (MUI) dimintakan pandangan dan menelaah karya tulis Mirza Ghulam Ahmad itu. Jika memang benar MUI –setelah menelaahnya dengan seksama dan cermat- berkesimpulan bahwa kitab itu bersesuaian dengan ketentuan yang disebut dalam pasal 17 UUHC, maka seharusnya Kejaksaan Agung tidak perlu bimbang untuk melarang peredaran, perbanyakan, dan pengumuman Tadzkirah tersebut. Dengan adanya pelarangan kitab itu, selayaknya pula Kejaksaan Agung tidak ragu untuk melarang penistaan agama Islam yang dianut oleh JAI.
Tentu dibutuhkan kesabaran yang tinggi bagi umat Islam yang tidak menyetujui keberadaan aliran MGA dan diharapkan MUI dan Forum Umat Islam (FUI) yang selama ini gencar melakukan penolakan keberdaan aliran MGA tidak terprovokasi melakukan tindakan anarkhis, dan tidak terjadi lagi pengalaman buruk JAI di beberapa tempat pada waktu yang lalu. Bagaimanapun mereka adalah sebangsa dan setanah air. Pendekatan dan pencerahan kepada para JAI secara manusiawi, dialogis, dan kultural diharapkan akan menyentuh batinnya agar kembali dari jalan yang sesat. Dan sikap tegas serta pemahaman yang benar dari Kejaksaan Agung terhadap kitab Tadzkirah dan JAI tentu sangat diharapkan sehingga masalah JAI dapat diselesaikan dengan cepat dan benar. Jika pelarangan buku sejarah dan novel-novel dapat dengan mudah dilakukan oleh Kejaksaan Agung, selayaknya persoalan Tadzkirah dan JAI juga dapat dilakukan dalam waktu yang tidak lama.